Dakwah Tidak Boleh Meninggalkan Budaya Lokal



Jakarta – Kajian tentang dakwah Muhammadiyah dan budaya lokal, Kamis (18/02/2010) di Kampus Univ. Muhammmadiyah Jakarta mengemuka khususnya ketika berhadapan dengan Globalisasi. Dr. Muslich menyarankan agar dalam menghadapi pluralisme budaya bangsa hendaknya Muhammadiyah sebagai persyarikatan yang komitmen terhadap amar ma’ruf nahi munkar, perlu melakukan revitalisasi dakwah kultural sebagai bagian khitah perjuangan, agar tidak terasa kering. Menurut Muslich dalam Seminar bertema Peran Muhammadiyah dalam Perkembangan Global tersebut, kadang dengan visi pemberantasan Tahayul Bid’ah dan Churofat (TBC) , Muhammadiyah kurang menyambut baik, bahkan dinilai sebagai Bodozer bagi perkembangan budaya lokal dan adat istiadatnya. “Perlu menggagas visi baru Muhammadiyah untuk merumuskan kembali sentuhan spiritual yang humanis dalam konteks ke Indonesiaan dengan filter Al Qur’an dan Sunnah nabi Muhammad SAW” katanya. Salah satu yang dicontohkan oleh Muslich adalah terlepasnya perhatian Muhammadiyah pada praktik Ruwatan yang banyak terjadi di Indonesia, khususnya Yogyakarta. “Ruwatan masih hidup dan dibudayakan tanpa sentuhan dakwah Muhammadiyah, ini bagi saya adalah pekerjaan rumah yang belum selesai, padahal Ruwatan sangat sensitif terhadap aqidah kita ” demikian Muslich menekankan. Menurut pengajar di Universitas Islam Indonesia itu perlu strategi untuk menghadapinya, yaitu dengan mendalaminya kemudian memberikan makna-makna sesuai dengan ajaran Islam. Menurutnya kita bisa saja memberikan pemaknaan ketika ada anak ontang-anting (tunggal) perlu diruwat, atau kalau ada pemahaman ada anak pandawa lima (Anak lima, laki-laku semua) harus diruwat, kita maknai keduanya sebagai anugerah Allah SWT . “Nah mantra-mantranya kita ganti dengan do’a-do’a yang sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SWT” katanya. Namun menurut Muslich di Muhammadiyah ada masalah karena tidak memiliki cukup Sumber Daya Manusia yang mampu memahami budaya dengan baik. Dalam budaya jawa saja menurutnya tidak banyak kader yang bisa membaca aksara jawa. (arif).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah Keinginan